Saya akan coba berbagi pengalaman saya ketika berjalan-jalan mengitari kota kita tercinta.
Sebelum saya jalan-jalan saya terlebih dulu mampir di sebuah tongkrongan di dekat SMA N 54 (read: babe). Saya kesini berangkat dengan Listyo atau makhluk bumi sering memanggil dia dengan sebutan Tyo. Kita berdua berangkat dengan menggunakan vespa milik Tyo yang tidak bisa diajak ngebut. Sesampainya di babe juga telah hadir Lukman dan anak-anak babe lainnya. Kami bertiga pun memesan kopi dan bercerita yang tak tau ujung pangkalnya. Malam pun semakin larut dan sisa kami bertiga, setelah penat bercerita-cerita kami pun memutuskan untuk jalan-jalan mengitari kota di malam hari. Rencana ini semakin kuat karena hasrat untuk narsis sudah lama tidak dikeluarkan dan untungnya saya membawa kamera milik kakak saya. Saya juga sebenarnya tidak terlalu niat untuk membawa kamera ini. Saya hanya kepikiran dalam hati “daripada nganggur di dalem lemari mending iseng-iseng dibawa hehe”.
Kamipun bergegas merapikan warung dan bergegas untuk berangkat. Kami jalan dengan armada 1 motor jepang dan 1 vespa dan mulai menyusuri jalanan ibukota. Kami terus berjalan dan seperti tidak tahu akan kemana. Sesampainya didaerah Tugu Tani, kami melihat objek yang cukup jarang ada di foto teman-teman kami yaitu “Tugu Tani” itu sendiri. Akhirnya kami memarkirkan motor di sebuah gedung yang tidak terlalu jauh dengan lokasi. Melihat untuk bisa sampai kesana kamipun mulai ragu, karena Tugu Tani tidak ada jalan khusus untuk pejalan kaki seperti halnya di Tugu Muda atau Tugu Jogja. Area sekitaran Tugu Tani ditutupi oleh rumput yang seolah-olah bicara “ Awas Rumput, Jangan di Injak!!”. Karena sudah terlalu tanggung kamipun nekat menerobos rumput dengan berlari. Sesampainya di dalam Area Tugu Tani perasaan gembirapun muncul dari diri kita masing-masing. Ada beberapa alasan yang membuat kami senang telah menginjakkan kaki kesini. Pertama, tempat ini sepi. Kedua, tempat ini tidak ada nyamuknya. Ketiga, karena alasan yang pertama kamipun bebas untuk berekspresi untuk seperti apapun. Kamipun mulai foto-foto walaupun hasil pertamanya yang ngeblur ngeblur ya maklum saja kami semua amatiran dalam urusan fotografi. Namun lama-kelamaan hasilnya semakin bagus, dan ada alasan keempat kami senang kesini.
Setelah puas mengasah skill masing-masing dengan kamera. Kami pun mengistirahatkan diri masing-masing sambil menatap Bulan yang memang sangat bagus pada waktu itu. Untuk menambah kemantapan suasana saya menyetel lagu dari hape saya, ya pilihan saya jatuh kepada lagu Original Soundtrack film GIE yaitu “Cahaya Bulan”.
Kira-kira seperti ini liriknya :
Perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang
Cahaya kota kelam mesra menyambut sang petang
Di sini ku berdiskusi dengan alam yg lirih
Kenapa matahari terbit menghangatkan bumi
aku orang malam yg membicarakan terang
aku orang tenang yg menentang kemenangan oleh pedang
Perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang
Cahaya nyali besar mencuat runtuhkan bahaya
Di sini ku berdiskusi dengan alam yg lirih
Kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi
aku orang malam yg membicarakan terang
aku orang tenang yg menentang kemenangan oleh pedang
cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan
yg takkan pernah aku tau dimana jawaban itu
bagai letusan berapi bangunkan dari mimpi
sudah waktunya berdiri mencari jawaban kegelisahan hati
Terangi dengan cinta di gelapku
Ketakutan melumpukanku
Terangi dengan cinta di sesatku
Dimana jawaban itu
Ya lagu ini seakan menghipnotis kami semua. Lagu ini seperti merasuk dan benar benar pas sekali waktunya. Kami bertanya akan kondisi kami sekarang, kondisi dunia saat ini, kondisi negara saat ini sampai kondisi percintaan kita bertiga sekarang yang nasib tidak jauh berbeda hahaha.. Ya kami dapat tambahan alasan kelima kita senang disini. Lagu ini memang terasa sangat sadis. Lalu ada hal yang mengejutkan kami,ternyata tidak hanya kami bertiga disini namun ada orang yang nyenyak sekali tidurnya tepat di bawah Tugu Tani.
Pertanyaan lain pun muncul, inikah Jakarta? Kota yang pembangunannya cepat tapi masih ada orang yang tidak mempunyai tempat tinggal. Rasa senang kita pun luntur melihat realita macam ini. Sepertinya kita lupa dengan-dengan kalimat yang ada di Tugu Tani. Inikah Penghargaan saya, kami, kita, untuk para Pahlawan terdahulu.
Mungkin jika Tugu Tani ini bisa bicara “pasti mereka sedih karena masih ada yang masih terjerat di garis kemiskinan” . Ini di Jakarta bung ! bagaimana di daerah lain? Kamipun emosi yang tidak tahu harus ditumpahkan kemana karena kami tahu kamipun belum ada kontribusinya terhadap negara ini. Terimakasih Tugu Tani karena telah memberi saya dan teman-teman saya pelajaran tentang arti “kehidupan” di kota ini.
Ini foto kita bertiga
Setelah lama kami berdiam disini akhirnya kita bergegas untuk mengitari kota ini lagi.
Lalu kami berhenti di Sebuah Patung yang menarik, kami tidak tau nama patung ini apa? Tyo menyebutnya “Patung Tanpa Muka”.
Kamipun berfoto-foto sejenak di patung ini. Lalu pelajaran akan kota ini ada lagi kami melihat betapa harmonisnya Ibu dan Anak yang sedang mengais rejeki dari jalanan ini. Kamipun senyum ke mereka berdua dan mereka pun membalas senyum kami. Setelah tidak lama ibu dan anak itu berjalan meninggalkan kami lewat lah sesosok manusia yang membuat kami semakin terhenyuh yaitu Pria penyandang cacat yang berjalan menggunakan kursi roda ditengah sepinya jalanan kota malam ini. Betapa hebatnya dia!! . Dapat lagi pelajaran tentang hidup dari foto-foto di “Patung Tanpa Muka” ini.
Kami memutuskan untuk berjalan lagi mengitari kota ini dan akhirnya kami berhenti di Bunderan HI dan kami memarkir motor sangat jauh dari sini yaitu di Sarinah karena disana tidak ada tempat parkir. Sesampainya di sini berbeda dengan tempat lain karena disini cukup ramai dengan muda-mudi yang nongkrong. Kamipun tidak ingin ketinggalan kami juga berfoto-foto ria.
Nongkrong itu gak enak kalau gak ngopi kamipun memesan kepada abang-abang bersepeda yang memang berjualan minuman hangat-hangat. Tyo memesan segelas susu putih, saya dengan kopi susu, dan Lukman dengan kegemarannya yaitu kopi hitam. Setelah minuman kami sudah jadi saya iseng-iseng foto gambar minuman kami bertiga.
Lukman pun melihat hasil jepretan saya dan seakan dapat pencerahan dengan quotenya :
“Kita seperti ini, kita tak selamanya suci” Super sekali anda Bung Lukman
Waktu menunjukkan waktu semakin pagi kami pun bergegas untuk pulang. Sebelum pulang kami menyempatkan untuk foto di depan spanduk Olimpiade 2012 yang ada di tembok Kedutaan Inggris.
Setelah foto ditempat yang seloah-olah berada di London, kami jalan ke motor kami diparkirkan. Memang dasar anak muda narsis akibat batere kamera yang masih banyak kamipun foto di Jembatan Busway.. memang terdengar alay sekali tapi bodo amat kapan lagi kami bisa seperti ini? hehe.
Ya sepertinya orang yang tidak mempunyai tempat tinggal di Jakarta cukup banyak hingga di Jembatan ini kami juga menemukannya lagi . Jakarta oh Jakarta, Jangan mau datang Ke Jakarta…
Kamipun meninggalkan tempat ini dan kembali lagi ke tempat parkiran. Lalu kami pun pulang dan banyak sekali pencerahan dari perjalanan mengitari kota Jakarta ini. Sekian pengalaman dari saya.. see you next time! .